demokratisasi
21.08 |
TENTANG DEMOKRATISASI :
DEMOKRATISASI PANTAI BARAT SUATU KEHARUSAN
Pantai barat Aceh sebenarnya memiliki nilai eksotika tinggi dibandingkan dengan pesisir timur. Memang sejarah pesisir timur banyak diuntungkan dengan keberadaan Selat Melaka, sehingga nilai perubahan yang terjadi merupakan resultan dari persaingan dan persandingan dari pelbagai macam kebudayaan.
Peradaban tertua di Aceh telah bernama sejak era Mesolitikum atau sekitar 12 ribu tahun yang lalu, ketika terjadi migrasi masyarakat Champa, dari wilayah sekitar Kamboja dan Vietnam sekarang. Berturut-turut peradaban yang lebih muda, mulai dari pengaruh Budha (Sinhala) dan Hindu (Tamil), hingga Islam (Gujarat, Timur Tengah, Turki) dan Kristiani (Portugis, Inggris, Belanda) masuk ke Aceh, yang mulai massif sejak delapan abad silam.
Tapi pesisir barat-selatan bukan sepi dari interaksi. Dalam literatur sejarah, pertemuan dunia dengan pantai barat-selatan telah terjadi sejak awal penanggalan masehi. Dalam sebuah laporan di Kompas beberapa tahun lalu disebutkan bahwa “helenisme” Melayu telah berlangsung sejak abad pertama masehi, ketika kota Barus-Natal-Singkil pusat kota Melayu yang dikenal dunia Eropa, jauh sebelum kota-kota lain di Sumatera terkenal. Kapur barus atau dalam bahasa Arabnya al-fansur telah digunakan untuk kepentingan kosmetika dan pengawetan sejak ribuan tahun di sini dan kemudian dikomersialkan hingga ke Eropa.
Filsuf Islam Melayu pertama, Hamzah al-Fansuri berasal dari daerah ini. Sayang, pembentukan wilayah pasca-kolonial dan pengenalan konsep teritori baru selama Orba telah mematikan jejak sejarah yang begitu cemerlang di masa lalu. Sama seperti matinya Lamno, Blang Pidie, Bakongan, atau Kuta Fajar yang di masa kolonial lebih terkenal dibandingkan ibukota kabupaten wilayah tersebut saat ini.
Di era sekarang pantai barat-selatan miskin, semiskin jejak prestasi yang mampu diukirnya untuk Aceh dan Indonesia. Sedikit sekali tokoh dari pantai barat yang pernah menjadi gubernur. Hanya ada nama Nyak Adam Kamil. Lainnya peta politik dipenuhi catatan biografi dari tokoh Kuta Raja, Pidie, Pasee, dan diselingi beberapa dari Idi-Peurelak. Padahal tak kurang intelektual yang bereputasi nasional yang berhasil dilahirkan dari negeri Samudera Hindia ini.
Namun terlepas dari kepentingan elitis, sesungguhnya ada hal yang bisa dilakukan untuk memberdayakan kembali masyarakat di barat-selatan, yaitu menghidupkan tradisi kedaulatan rakyat (sovereignity of people) melalui demokrasi.
Demokrasi sendiri bukan sebuah proses yang hanya melihat pada kepatutan seseorang mengambil kekuasaan dari pemilu dan menjalankan konstitusi yang diberikan kepadanya. Demokrasi adalah proses peningkatan kualitas masyarakat sebagai demos sebenarnya dalam keterwakilan pemerintahan dan program yang dihasilkan. Dalam hal ini keberadaan kepala pemerintahan lokal adalah untuk menjamin mereka terwakili dan menjadi pelayan publik. Aspek kepemerintahan (governmentality) dari seorang kepala daerah adalah menjalankan peraturan untuk kepentingan kesejahteraan rakyat, melalui pengelolaan sumber daya alam secara bermartabat dan melibatkan komunitas penyangga (petani, pekebun, masyarakat adat) ketika merumuskan kebijakan.
Namun fase ini belum lagi tiba untuk pantai barat-selatan. Dalam sebuah penelitian yang pernah saya lakukan beberapa bulan yang lalu untuk menilai indeks demokrasi di salah satu kabupaten yang sangat kaya sumber daya alamnya di pantai barat, terlihat konsep kewargaan (citizenship) belum lagi muncul, tenggelam oleh praktik pemerintahan yang bersifat otoritarian-koruptif. Ruang publik warga bukan tidak tersedia, tapi memang tidak diperkenalkan oleh elite. Sektor pelayanan publik tumbuh seperti keumumu, sejenis keladi liar, yang tidak diupayakan dengan sebuah skema yang jelas. Adapun anggaran pemerintahan habis untuk kepentingan membiayai birokrasi pemerintah yang gemuk dan tidak efesien. Kegemukan birokrasi ini bukan disebabkan pentingnya penambahan staf demi efektivitas fungsi pelayanan, tapi demi memenuhi syahwat nepotisme.
Dalam situasi seperti itu, rasio antara daya tahan anggaran dan dana kesejahteraan jelas tidak bertemu. Takdir yang pasti tertulis, gagasan ideal di masa kampanye tidak akan mampu terealisasi karena sistem pemerintahan telah memerangkap diri dalam masalah. Cara yang paling mudah mempertahankan pemerintahan adalah komersialisasi dan privatisasi sumber daya alam pada sektor swasta, menjalankan mafia pemerintahan dengan memanfaatkan sentimen primordial asoe lhok dan awak geutanyoe untuk mensilumankan anggaran pembangunan. Dengan memo bupati, sebuah konsesi HPH, izin eksplorasi, atau pencairan anggaran bisa dilakukan. Ini pula yang menjadi sebab defisit anggaran, karena adanya penggunaan anggaran tiada mustahaq yang tidak masuk dalam daftar isian program.
Akhirnya, efek derita dirasakan oleh masyarakat karena jatah pembangunan tidak pernah menjadi bagian dari hak rakyat. Eksplorasi alam tanpa tanggung jawab meninggalkan cendawan racun berupa residu limbah yang berakibat duka bagi masyarakat adat dan terpencil. Mafioso pemerintahan mentradisikan teror, propaganda, dan intimidasi terhadap suara-suara perubahan dan anti-korupsi. Siklus ini akhirnya menyebabkan demokrasi gagal memenuhi hasrat pendalaman diri (self-depth of democracy), sehingga berakibat pada defisit sosial-budaya-ekonomi.
Jika ini masalahnya, maka solusinya jelas bukan ide pemekaran kembali atau pembentukan provinsi baru, karena jelas infeksi ini akan bertunas lebih cepat dengan periode inkubasi stabil dalam sel-sel yang lebih kecil. Yang perlu dilakukan adalah rakyat bergerak dan mengepung pemerintah untuk memberikan bukti dan bukan janji kesejahteraan. Bukti itu bisa dilakukan dengan lebih mengggiatkan lagi upaya partisipasi masyarakat untuk membonsai perilaku koruptif anggaran yang tidak perlu (seperti anggaran perjalanan dinas, yang sering kali digunakan untuk jalan-tidur-makan gratis tanpa dinas), melakukan monitoring (agar anggaran program tidak dimanfaatkan dengan kualitas dungu), mengadvokasi (membela setiap kepentingan masyarakat kecil atau terpencil agar mendapatkan keadilan anggaran pembangunan) dan memberikan tindakan kuratif (menyerang setiap koruptor agar segera diproses hukum dan mendapatkan hukuman).
Inilah cara agar demokrasi bisa tumbuh dan berkembang di pantai barat, seperti sejarah besar yang pernah dimilikinya, jauh sebelum timur mengenal peradaban.
PRIVATISASI ATAU DEMOKRATISASI ?
Pemerintah selama ini berargumen bahwa privatisasi perlu dilakukan untuk menutup defisit anggaran. Beragam teori ekonomi lain kemudian dijadikan pelengkap rasionalisasi. Privatisasi dipercaya sebagai jalan menghilangkan intervensi politik (birokrasi negara) terhadap BUMN. Privatisasi juga dianggap cara yang paling ampuh untuk menyehatkan dan meningkatkan kinerja (efisiensi) BUMN. Kisah privatisasi di negara lain pun sering dijadikan rujukan. Benarkah demikian?
Dua fakta dapat memperjelas ujung-pangkal privatisasi. Pertama, privatisasi BUMN Indonesia –dan di negara lain- berpangkal pada agenda Konsensus Washington yang disponsori oleh IMF dan Bank Dunia. Persis misalnya privatisasi di Bangladesh, Ghana, Gambia, dan Jamaica yang di-back-up penuh oleh USAID (Patriadi, 2003). Kedua, privatisasi BUMN di Indonesia ternyata berujung pada asingisasi. PT Indosat dan PT Telkomsel sebagian (besar) sahamnya kini dikuasai STTC dan Singtel, keduanya adalah BUMN milik Pemerintah Singapura.
Privatisasi pararel (satu paket) dengan liberalisasi ekonomi dan deregulasi yang kini berujung pada dominasi modal asing terhadap 80% pengelolaan migas, 50% penguasaan perbankan nasional, dan 70% kepemilikan saham di pasar modal Indonesia.
Berdasar ujung-pangkal di atas kiranya lebih mudah memahami privatisasi sebagai upaya sistematis untuk mengambil-alih ekonomi Indonesia. Privatisasi BUMN (dan juga terhadap aset-aset strategis nasional seperti air dan migas) hakekatnya adalah rampokisasi (Baswir, 2006). Dalam spektrum yang lebih luas, privatisasi adalah salah satu bentuk imperialisme baru (Petras & Veltmeyer, 2001), yang kiranya lebih mengabdi pada maksimalisasi nilai saham untuk kepentingan pemilik asing (Stiglitz, 2002).
Privatisasi terhadap BUMN yang justru sudah sehat, prospektif, dan bisnisnya terkait dengan hajat orang banyak (layanan publik) di Indonesia selama ini telah memuluskan penyedotan surplus ekonomi (net-transfer) kepada pihak asing (imperialis). Inilah yang kini dipahami secara kian meluas sebagai neokolonialisme ekonomi Indonesia.
Oleh karenanya, kegagalan pemerintah dalam pengelolaan ekonomi (BUMN) seperti yang ditudingkan selama ini semestinya dimaknai tiga hal: Pertama, kegagalan karena warisan struktur ekonomi kolonial-sentralistik yang mendorong inefisiensi dan eksploitasi BUMN. Kedua, kegagalan karena pengubahan dan marjinalisasi peran negara pasca liberalisasi yang sekedar menjadi pelayan kapitalisme global, yang jelas bertolakbelakang dengan amanat Pasal 33 UUD 1945. Dan ketiga, kegagalan karena pengabaian terhadap solusi-solusi alternatif berbasis ekonomi kerakyatan dalam membangun BUMN berbasis daya dukung domestik yang tersedia.
Pola Demokratisasi BUMN
Solusi terhadap persoalan BUMN dengan begitu tidak mungkin bersifat parsial. Terlebih menyerahkan kuasa BUMN pada korporasi (asing) tentu bukanlah pilihan bijak Logika dasar yang menggerakkan korporasi adalah akumulasi (konsentrasi) kapital, bukannya tanggung jawab sosial. Hukum positif pun sudah mengatur demikian. Program sosial dilakukan demi tujuan dasar tersebut, sehingga proporsinya jauh lebih kecil dan tidak signifikan dibanding nilai faktor produksi yang dieksploitasi dan surplus ekonomi yang telah dibawa keluar.
Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah menimbang dilakukannya demokratisasi BUMN sebagai solusi berbagai persoalan yang dihadapi BUMN dan perekonomian nasional. Demokratisasi BUMN yang sejalan amanat demokrasi ekonomi Pasal 33 UUD 1945 diwujudkan melalui perluasan (transformasi) kepemilikan dan kontrol BUMN oleh rakyat Indonesia. Transformasi ini dilakukan melalui sistem perencanaan demokratis yang melibatkan pemerintah dan stakeholder BUMN domestik dan bukan mengabdi pada mekanisme pasar (bebas) privatisasi lewat strategic sale atau listing (IPO) di pasar modal.
Demokratisasi BUMN dapat dilakukan melalui pola redistribusi saham terencana kepada serikat pekerja, konsumen, Pemerintah Daerah, BUMD, koperasi, dan pelaku ekonomi rakyat Indonesia lainnya.
Pola ini, walau terbatas pemberian (pembelian) saham pada pekerja, telah diterapkan misalnya di Georgia, Lithuania, Maldova, dan Rusia, dengan perbaikan kinerja BUMN yang signifikan. Di Georgia misalnya, kepemilikan saham pemerintah dipertahankan sebesar 65% pada 900 BUMN. Para pekerja diberikan saham sebesar 5% secara gratis; 3% ditawarkan dengan potongan 20% dan sekitar 28% dipasarkan kepada manajer dan pekerja melalui lelang (Patriadi, 2003).
Arti Strategis Demokratisasi BUMN
Pola tersebut setidaknya memiliki tiga arti strategis. Pertama, pola ini akan mengintegrasikan sektor moneter dan sektor riil melalui mobilisasi sumber keuangan domestik yang tersedia. Perbankan dapat menyediakan kapital bagi pembelian saham terencana oleh pekerja dan stakeholder BUMN domestik lainnya. Saat ini LDR perbankan nasional baru sebesar 60% dan sekitar Rp. 250-300 trilyun dana bank pun hanya diendapkan di SBI. Oleh karenanya, melalui demokratisasi BUMN tiga hal akan tercapai sekaligus: optimalisasi potensi keuangan domestik, peningkatan modal perusahaan, dan penghindaran dari ketergantungan modal asing.
Kedua, pola ini selain akan memacu kinerja BUMN, sekaligus dapat memastikan bahwa perbaikan kinerja BUMN tersebut adalah cerminan langsung peningkatan kontrol (partisipasi) publik dan kesejahteraan pekerja, konsumen, serta masyarakat luas sebagai pemilik dan pengendali BUMN. Hal ini berbeda pada BUMN pasca privatisasi (asingisasi) yang hanya akan menunjukkan ”kinerja semu” karena penikmat sejatinya terbesarnya adalah para akumulator (pemilik) modal di luar negeri.
Ketiga, pola ini dengan sendirinya membatasi ruang gerak intervensi politik dalam pengelolaan BUMN. Tidak akan ada lagi istilah BUMN sebagai ”sapi perah” kelompok politik tertentu. BUMN akan dikelola tidak saja secara transparan dan akuntabel, tetapi juga secara demokratis. Serikat pekerja dan multistakeholder BUMN domestik pun akan memiliki posisi tawar yang lebih kuat dalam menghalangi setiap bentuk eksploitasi yang secara langsung akan merugikan mereka.
Kini bagaimana prospek demokratisasi BUMN di Indonesia?
Alih-alih memikirkan alternatif tersebut, pemerintah dan DPR kiranya justru kian gencar menyediakan produk hukum yang memuluskan jalan privatisasi BUMN dan aset strategis nasional. Hal itu tercermin dalam UU Sumber Daya Air, UU Migas, UU BUMN, UU Penanaman Modal, dan UU Perkeretaapian yang baru saja disahkan. Prospek demokratisasi BUMN nampaknya masih suram karena sampai saat ini yang lebih mungkin justru pelepasan satu per satu aset publik terkonsentrasi ke tangan segelintir pemodal besar (asing).
Memang tak mudah meyakinkan pemerintah dan DPR perlunya demokratisasi, dan bukan privatisasi BUMN. Terlebih isu privatisasi yang menilik hakekatnya di awal bukan lagi domain teoritik dan akademis, melainkan domain kekuasaan dan politik ekonomi. Setiap upaya merombak struktur kekuasaan, terlebih yang melibatkan relasi domestik-internasional, pastilah berhadapan dengan reaksi pemangkunya. Tetapi bagaimanapun kita harus berani dan optimis, karena disitulah kemerdekaan dan kedaulatan kita sebagai bangsa dinilai. Wallahu’alam.
http://ekonomikerakyatan.com/demokratisasi-atau-privatisasi-bumn.html
Read User's Comments(0)
Langganan:
Postingan (Atom)